Analisis Multivariat dan Pemodelan Hotspot Berdasarkan Indikator Iklim di Kalimantan Menggunakan Copula

Authors: MK Najib, S Nurdiati, A Sopaheluwakan. 

Ringkasan: Indonesia adalah negara dengan wilayah hutan yang sangat luas. Namun demikian, sejak beberapa dekade terakhir, kawasan hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat serius dari segi kuantitas maupun kualitas. Salah satu faktor yang menyebabkan deforestasi tersebut adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun telah menjadi isu nasional yang mendapat perhatian serius dari pemerintah maupun peneliti, khususnya di pulau Kalimantan. Faktor alam seperti El Niño dapat mengakibatkan berkurangnya curah hujan dan memperpanjang musim kemarau sehingga tanaman menjadi lebih kering dan mudah terbakar. Beberapa kebakaran hebat seperti pada tahun 1997 dan 2015 terjadi bertepatan dengan El Niño kuat. Pada saat ini, kebutuhan akan suatu model risiko kebakaran menjadi sangat penting dalam upaya meningkatkan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Sebagai langkah awal untuk mengembangkan model tersebut, diperlukan konsep tentang distribusi bersama. Salah satu pendekatan yang sering digunakan untuk menghitung distribusi bersama tersebut adalah copula. Copula sering diterapkan pada bidang keuangan, tetapi masih sangat sedikit penerapannya dalam bidang klimatologi, khususnya analisis tentang kebakaran hutan. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan menganalisis distribusi bersama berbasis copula antar indikator iklim maupun antara indikator iklim dan hotspot di Kalimantan, beserta perubahannya akibat pengaruh musim dan kondisi ENSO. Selanjutnya, berdasarkan distribusi bersama yang diperoleh, dibangun suatu model regresi berbasis copula untuk hotspot di Kalimantan jika diketahui indikator iklim dan kondisi ENSO yang spesifik. Penelitian ini diawali dengan mendefinisikan area rentan kebakaran di pulau Kalimantan menggunakan k-mean clustering untuk mengeliminasi daerah dengan tingkat kebakaran yang rendah. Berdasarkan hasil analisis dependensi dari masing-masing indikator iklim terhadap hotspot di area rentan kebakaran, diperoleh bahwa rataan curah hujan dua bulanan, anomali curah hujan bulanan, dan jumlah hari tanpa hujan tiga bulanan memberikan korelasi moderat untuk hotspot di Kalimantan. Data tersebut yang kemudian disebut sebagai rataan curah hujan, anomali curah hujan, dan hari tanpa hujan pada proses analisis selanjutnya. Hasil fitting parameter copula antar indikator iklim menunjukkan bahwa copula Galambos dan Gumbel asimetris merupakan copula yang paling cocok, masing-masing untuk kasus bivariat (hari tanpa hujan dan rataan curah hujan) dan trivariat (hari tanpa hujan, rataan curah hujan, dan anomali curah hujan). Distribusi bersama antara hari tanpa hujan dan rataan curah hujan menunjukkan kondisi kekeringan terburuk pada tahun 2019 lebih buruk daripada tahun 2015. Namun, dampak kekeringan pada tahun 2015 lebih terasa karena musim kemarau tahun 2015 lebih lama daripada tahun 2019. Meskipun memiliki hotspot yang hampir sama (pada bulan September), tetapi jumlah hotspot pada bulan Agustus dan Oktober jauh lebih tinggi pada tahun 2015. Berdasarkan periode ulang bersama, kemungkinan bahwa satu bulan lebih parah daripada bulan September 2019 (baik hari tanpa hujan dan rataan curah hujan) adalah 1/78 bulan jika diasumsikan kondisi iklim stasioner. Namun, kemungkinan tersebut sangat tidak pasti dikarenakan data yang terbatas. Setelah data direduksi berdasarkan musim dan kondisi ENSO, diperoleh bahwa kondisi El Niño dan La Niña tidak berpengaruh signifikan terhadap distribusi bersama antar indikator iklim pada musim hujan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa selain rataan curah hujan, kondisi hari tanpa hujan dan anomali curah hujan juga tidak terpengaruh oleh kondisi ENSO pada musim hujan. Sebaliknya, El Niño dan La Niña berpengaruh signifikan terhadap distribusi bersama pada musim kemarau. El Niño meningkatkan peluang situasi kering yang terjadi secara bersamaan pada indikator iklim hampir dua kali lipat dibandingkan kondisi ENSO normal. Sebaliknya, selama kondisi La Niña, peluang situasi kering yang terjadi secara bersamaan pada indikator iklim berkurang lebih dari setengah dari peluang selama kondisi ENSO normal. Sementara itu, hasil fitting parameter copula antara indikator iklim dan hotspot menunjukkan bahwa fungsi copula yang paling cocok untuk rataan curah hujan – hotspot dan hari tanpa hujan – hotspot adalah sama, yaitu copula Joe, Galambos, dan BB1 masing-masing untuk kondisi La Niña, normal, dan El Niño. Berdasarkan fungsi kepekatan peluang bersama dan fungsi survival bersyarat, terdapat anomali pada kondisi ENSO normal yang memiliki hotspot lebih banyak dari biasanya, yaitu pada bulan September 2019. Anomali ini sangat jarang terjadi, ditunjukkan dengan periode ulang bersama antara rataan curah hujan dan hotspot, yaitu 296 bulan dengan selang kepercayaan 95% [51, ∞] bulan dan periode ulang bersama antara hari tanpa hujan dan hotspot, yaitu 366 bulan dengan selang kepercayaan 95% [61, ∞] bulan. Fungsi survival bersyarat dengan diberikan kondisi kering pada indikator iklim memperkuat pernyataan ini. Peluang hotspot yang lebih parah dari tahun 2019 sangat rendah selama kondisi ENSO normal, yaitu kurang dari 2%. Satu-satunya kondisi ENSO dengan peluang yang relatif tinggi adalah pada saat El Niño, yaitu lebih dari 10%. Sementara itu, peluang hotspot yang lebih parah dari tahun 2019 saat La Niña sangat rendah, hampir mendekati nol. Tahap terakhir dari penelitian ini adalah membangun suatu model regresi berbasis copula untuk hotspot berdasarkan sebaran bersamanya. Model regresi copula menunjukkan bahwa model dengan hari tanpa hujan sebagai indikator iklim lebih baik daripada model dengan rataan curah hujan sebagai indikator iklim, yang ditunjukkan oleh nilai RMSE dan R^2 yang lebih baik. Regresi copula untuk hotspot yang diberikan rataan curah hujan spesifik dan kondisi ENSO memiliki nilai RMSE 1339 hotspot dan nilai R^2 60.70%. Sementara itu, regresi copula untuk hotspot yang diberikan hari tanpa hujan spesifik dan kondisi ENSO memiliki nilai RMSE sebesar 1185 hotspot dan nilai R^2 sebesar 69.21%. Secara keseluruhan, model regresi copula dengan diberikan hari tanpa hujan spesifik lebih fit hampir setiap tahun, terutama pada tahun 2004, 2006, 2014, 2015, dan 2019. Sebaliknya, model regresi copula dengan diberikan rataan curah hujan spesifik lebih fit hanya pada tahun 2002 dibandingkan model regresi copula dengan diberikan hari tanpa hujan.

link: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/110469

Kata kunci: Copula, ENSO, Hotspot, Kebakaran Hutan, Kekeringan

Posting Komentar

0 Komentar